Para pembantu ‘digeledah, ditelanjangi, dipukul’, cerita WNI yang menjadi ‘trainer’ agen untuk Maid Online, perekrut resmi PRT di Malaysia

WNI yang pernah bekerja di agen yang memasok pembantu rumah tangga untuk Maid Online menyebut pengalamannya traumatis.

Seorang warga negara Indonesia yang pernah bekerja sebagai “trainer” salah satu agen untuk Maid Online, sistem perekrutan pembantu rumah tangga (PRT) bentukan badan imigrasi Malaysia, menceritakan pengalaman “menyedihkan dan traumatis” yang ia saksikan sendiri.

Wulan – bukan nama sebenarnya – bekerja selama enam bulan di perusahaan yang menyalurkan pembantu untuk Maid Online, sebelum memutuskan untuk melarikan diri dari Malaysia pada Mei 2019.

Wulan mengatakan banyak hal yang membuatnya terkejut sekaligus sedih menyaksikan sendiri pengalaman dalam merekrut PRT di perusahaan yang menyalurkan pembantu melalui sistem yang notabene resmi ini.

Hal pertama yang mengejutkan – kata Wulan – adalah prosedur menyita semua barang milik calon pembantu termasuk paspor, telepon seluler, uang, dan foto-foto. Ia mengatakan melihat sendiri bagaimana tidak berdayanya para calon pekerja tanpa barang-barang dan dokumen penting mereka di negara asing.

Tugas besar lain yang juga mengejutkan adalah praktik menggeledah, menelanjangi “dan memfoto saat mereka pakai baju lagi” serta mengancam foto-foto telanjang hasil jepretan, akan dikirim ke keluarga di Indonesia.

Usia para pekerja juga dipalsukan. Ada yang berumur 16 tahun dan ada juga yang masih berumur 13 tahun yang berasal dari Medan, kata Wulan.

Pihak perekrut beralasan “mereka digeledah untuk mencari “benda tajam”, tapi para calon pekerja mengatakan mereka membawa benda-benda itu untuk melindungi diri seperti “benda-benda mistis dari dukun, di antaranya kuku dan tanah yang diikat kain.”

“Foto-foto telanjang diambil dengan telepon seluler milik kantor dan dipegang para agen. Mereka mengancam [jika] berperilaku tak baik, foto-foto telanjang akan dikirim ke keluarga mereka,” kata Wulan dalam wawancara eksklusif dengan BBC News Indonesia.

Pemerintah Indonesia sendiri menuntut agar Maid Online, yang dibentuk pada 1 Januari 2018, dihapuskan karena “sangat rentan” terjadinya pelanggaran. Permintaan itu adalah salah satu persyaratan utama ditandatanganinya memorandum kesepakatan (MoU) tentang perlindungan tenaga kerja antara kedua negara, yang belum diperbarui sejak 2016.

Duta besar Indonesia untuk Malaysia, Hermono mengatakan “punya keyakinan tinggi bahwa SMO (Sistem Maid Online) memicu terjadinya abuse (pelanggaran/pelecehan) karena pekerja migran yang ditempatkan di Malaysia tidak memiliki persiapan, termasuk keterampilan. Jadi potensi abuse jauh lebih besar.”

“Sistem ini tak mengindahkan kepentingan Indonesia untuk melindungi pekerja migran kami… ini juga melanggar hukum kita sendiri. Jadi ada argumentasi hukum dan ada perlindungan pekerja. Kedutaan tak tahu siapa yang direkrut di bawah skema ini,” kata Hermono kepada BBC News Indonesia.

BBC telah mengontak Imigrasi Malaysia – lembaga yang membentuk Maid Online – untuk meminta tanggapan, namun hingga laporan ini diturunkan tidak ada jawaban.

Dari 2017 sampai tahun ini terdapat lebih dari 1.700 pekerja migran yang ditampung di penampungan KBRI di Kuala Lumpur. Namun dari jumlah itu, Hermono mengatakan tak tahu pasti berapa yang menjadi korban Sistem Maid Online.

Pekerja migran Indonesia yang ditampung karena berbagai masalah di KBRI Malaysia.

Saat ini, pengiriman tenaga kerja migran, termasuk PRT, ke Malaysia masih dibekukan sejak terjadi pandemi tahun lalu.

Hermono juga mengatakan sejak dilonggarkannya karantina wilayah, kebutuhan PRT sangat tinggi, namun dia mengatakan pengiriman resmi tak akan terjadi sampai MoU ditandatangani.

Pertengahan bulan ini (13/01), Menteri Industri dan Komoditi Malaysia Zuraida Kamaruddin mengatakan Indonesia telah menyetujui masuknya 32.000 buruh migran ke Malaysia pertengahan Februari nanti, setelah pemerintahannya menyepakati ‘sejumlah masalah teknis’ dengan pemerintah Indonesia, menurut Bernama.

“Mereka ingin menandatangani nota kesepakatan yang meliputi pekerja migran di industri itu, dan setelah kita meratifikasi, mereka akan mengizinkan warganya datang ke Malaysia,” ujarnya. Walaupun, pernyataan ini mengacu pada pengiriman buruh migran untuk sektor industri sawit.

Meski begitu, pernyataan bahwa MoU dapat ditandatangani bulan Februari 2022, ditanggapi dengan pesimistis oleh Hermono karena masih banyak elemen yang perlu dibahas.

Tetapi, tanpa keterlibatan Indonesia sama sekali dalam Sistem Maid Online, kata Hermono, sangat sulit memantau ada tidaknya kebocoran pengiriman pekerja.

Dubes Indonesia di Malaysia, Hermono (kanan) bersama sejumlah pekerja migran Indonesia.

 

Cerita Wulan direkrut sebagai ‘trainer’ agen penyalur Maid Online

Wulan mengatakan tertarik menjadi trainer di agen penyalur Maid Online setelah melihat iklan di sosial media, Instagram.

Dalam proses perekrutan, kata Wulan, ia diwawancara dengan posisi “sebagai trainer” untuk mengajarkan “para pembantu tugas-tugas yang harus mereka kerjakan.”

Dari wawancara itu, ia juga mengetahui bahwa CEO agen penyalur ini adalah seorang ustaz asal Afrika dan istrinya yang bertindak sebagai manajer, perempuan asal Malaysia, yang disebutkan punya kontak dengan kalangan atas di Negeri Jiran itu.

Dalam waktu kurang dari satu minggu kemudian, ia diterima “walaupun tak punya pengalaman melatih” pembantu dan tiba di Malaysia dengan visa turis di penghujung 2019.

Ia kemudian mengaku mendapatkan visa pekerja tanpa harus ke imigrasi dan dengan hanya difoto di tempat kerjanya.

Tujuan suami istri ini memanfaatkan Maid Online, kata Wulan, seperti yang mereka ceritakan sendiri, adalah memperluas bisnis penyalur pembantu rumah tangga ke Singapura, Arab Saudi dan Dubai.

Ketika mulai bekerja, cerita Wulan, penyalur ini telah beroperasi mengirimkan pembantu ke Singapura, dengan cara membawa dua orang agar dapat dipilih langsung oleh calon majikan. Singapura, katanya lagi, membayar lebih banyak.

Tugas utama Wulan adalah “memeriksa dan menyita semua dokumen begitu mereka tiba, termasuk paspor, KTP, kartu keluarga, ijazah… uang, telepon seluler, foto keluarga, barang-barang dari dukun (seperti tanah diikat kain) dan terkadang benda tajam, yang juga dianggap seperti jimat yang dapat digunakan sebagai pelindung.”

Para calon pembantu juga dijelaskan tentang pekerjaan mereka dan gaji yang berkisar antara RM1.000 sampai RM1.500 (Rp3,3 juta sampai Rp5 juta).

Dalam tahap awal itu, mereka juga diberitahu bahwa gaji yang mereka terima akan dipotong RM300 (Rp1 juta) pada tiga bulan pertama untuk menutup biaya perjalanan mereka dari Indonesia ke Malaysia.

“Mereka diberitahu tidak diizinkan menelepon keluarga dan diajari cara menjawab saat diwawancara oleh calon majikan,” cerita Wulan.

Izin kerja sementara dan asuransi baru diberikan setelah tiga bulan bekerja dengan seorang majikan.

Namun dalam periode inilah, timbul masalah karena banyak PRT yang melarikan diri.

Wulan mengatakan selama enam bulan di Malaysia, 10 orang PRT telah melarikan diri, sejumlah di antaranya hanya bertahan dua hari bekerja.

 

Hukuman bila lari – “Kamu bodoh, jelek, miskin, jambak rambut, digampar”

Banyak alasan mengapa para pembantu melarikan diri.

“Contohnya, ada yang butuh PRT, tapi dia tidak tahu harus gendong ibu majikan karena sudah lansia. Ada [majikan] yang bilang rumahnya kecil, ternyata besar sekali, tidak mungkin satu PRT yang bersihin rumah, perlu dua atau tiga PRT tapi majikan tidak mau,” cerita Wulan.

Larinya para pekerja ini berakhir dengan “kekerasan verbal, dikata-katain, kamu bodoh, jelek miskin, jambak rambut, cubit, yang paling kasar digampar, dilempar barang.”

“Kalau bos lihat, sudah diajarin masih salah, lalu dipukul tangan, kekerasan dengan kata-kata tidak pantas, bahkan dia tahu bahasa Indonesia seperti ‘anjing, tolol, goblok’.”

“Pembantu itu menangis karena tidak tahu harus berbuat apa karena bicara pun dimarahin, tidak ada kebebasan untuk menjelaskan,” katanya lagi.

Perempuan berusia 20-an ini juga mengatakan ketika dihadapkan pada situasi seperti itu, ia “tidak bisa berbuat apapun dan dituntut untuk ikut seperti mereka (ikut marah-marah).”

Di tempat penampungan inilah, para pekerja membuat buku harian untuk menumpahkan perasaaan mereka, kata Wulan.

“Ada yang menulis, kenapa harus percaya sama orang-orang yang sudah baik sama saya, ternyata saya dijebak, ada juga yang rindu sama anak, tapi tak bisa pulang, tidak tahu harus minta tolong sama siapa, mereka ikhlas kalau sampai nyawa tak selamat.”

“Mereka tidak bisa hubungi keluarga karena uang disita, telepon seluler disita… Buku diari itu saya kasih dan ditulis masing-masing maid… mereka ungkap sejujur-jujurnya apa yang mereka rasakan,” cerita Wulan lagi.

“Ada yang cerita mau bunuh diri, mau loncat… ada juga yang stres karena kelakuan majikan yang tidak manusiawi, setiap hari harus kerja keras, banyak banget kerjanya.”

Wulan juga mengatakan setelah para pembantu bekerja di majikan, “baru dibuatkan masuk ke dalam Sistem Maid Online. Kalau kerja tidak oke, kita balikin ke sponsor (penyalur di Indonesia).”

 

Dikirim ke majikan malam hari

Sebagian besar pembantu rumah tangga dalam periode Wulan bekerja berasal dari Nusa Tenggara Timur, Pulau Jawa dan Sumatera Utara. Banyak dari mereka yang “tidak bisa bahasa Indonesia sama sekali.”

Kantor agen penyalur saat itu terletak di deretan ruko di Bangi, Selangor, dan dijadikan juga tempat penampungan sebelum pekerja dikirimkan ke majikan, sebut Wulan.

Menurut dia, para pekerja biasanya diantar ke majikan pada malam hari, sehingga tetangga tidak sadar berapa orang yang tinggal dalam rumah penampungan itu.

Wulan juga mengaku ditugaskan untuk memenuhi keperluan makan PRT. Ia ditugaskan untuk belanja dan masak, sementara para pekerja dikunci di tempat penampungan.

Dalam saat yang bersamaan, Wulan mengeklaim, biasanya terdapat antara antara lima sampai delapan pekerja.

Di luar pengalaman traumatis itu, Wulan mengatakan ia juga ditugaskan ikut mengantar para pekerja ke calon majikan. Dalam waktu enam bulan bekerja, ia telah berkeliling ke sebagian besar negara bagian Malaysia, termasuk Perak, Penang, Kedah, Kelantan Terengganu, Johor dan Ibu Kota Kuala Lumpur.

Wulan juga mengatakan sebagian pekerja yang penampilannya dianggap kurang, atau tak bisa mengikuti instruksi kerja, atau mereka yang berusia 30-an dan dianggap “terlalu tua” akan dikirim kembali ke Indonesia dan ada juga “dijual” ke agen lain yang terkait dengan industri seks.

Kondisi traumatis ini yang akhirnya berujung pada Wulan melarikan diri dengan dibantu saudara untuk memesan tiket pesawat ke Indonesia dan memesan taksi ke bandara di Malaysia.

“Yang membuat saya bertahan adalah para maid. Mereka bilang kalau tidak ada kakak, siapa lagi yang mau bantu kami, tidak ada yang bisa mengerti mereka. Pokoknya mereka tidak mau saya pulang dulu.”

Satu hal yang ia sesali, cerita Wulan adalah karena dia “belum bisa membantu mereka sepenuhnya… Saya bisa keluar, mereka tidak bisa, sedangkan mereka selalu minta tolong ke saya.”

“Saya tahu cerita mereka bermacam-macam, kalau saya di posisi mereka, saya tak tahu akan seperti apa. Bahkan ada yang usia lansia, mau pulang tidak diperbolehkan karena visa sudah melewati izin, belum lagi biaya untuk pulang, harus dicaci maki juga, dihukum, makan pun dijatah.

 

Sebagian besar pekerja tak berdokumen “tak digaji”

Sekitar 1380 pekerja migran Indonesia di Malaysia meninggal karena Covid.

Dari lebih 1.700 yang ditampung dalam empat tahun terakhir di KBRI, Kuala Lumpur, sebagian besar karena masalah gaji yang belum dibayar.

Dari 2017 sampai saat ini, terdapat lebih dari 1.700 yang ditampung di penampungan KBRI karena berbagai kasus, sebagian besar gaji tak dibayar.

Banyak di antara mereka yang menunggu cukup lama karena proses hukum yang terganggu pandemi. Kasus yang masih berjalan, menurut data KBRI Malaysia, ada yang masih menunggu walau sudah 3,5 tahun.

Status pengiriman pekerja ke Malaysia saat ini masih dibekukan sejak pandemi.

Duta Besar Indonesia untuk Malaysia, Hermono mengatakan Indonesia belum akan mengirimkan lagi secara resmi sebelum MOU ditandatangani.

 

Kesaksian PRT korban Maid Online

oleh Nasrikah, aktivis buruh migran dari PERTIMIG di Malaysia

Saya bertemu dengan Mbak Jumi korban Sistem Maid Online (SMO), di Pasar Chow Kit, Kuala Lumpur, Oktober 2020. Saat ditanya nama dan asal dari mana, ia hanya diam dan pandangannya sangat kosong. Tubuhnya terlihat kurus dan lemah.

Saat dibawa ke rumah sakit, dokter mengatakan “ada cairan di kepala dan memerlukan operasi secepatnya”.

Mbak Jumi asal Kebumen, Jawa Tengah adalah seorang PRT yang ditelantarkan oleh majikannya dan saat ditemukan tidak ada satu dokumen hingga nomor kontak yang ia miliki.

Setelah dibawa ke tempat perlindungan, terungkap, Mbak Jumi berangkat ke Malaysia pada Januari 2020 dengan jalur perseorangan, menggunakan visa turis untuk kemudian dijual ke agensi.

Agensi memperkerjakan ke majikan yang memperlakukan Mbak Jumi layaknya “budak”.

Salah satu aktifitas PRT di Malaysia, seperti menyetrika.

Mbak Jumi tidak cukup makan, tidak digaji, dan sering dipukul.

Apa yang dialami Mbak Jumi adalah bukti lemahnya SMO dalam memberikan perlindungan bagi PRT asal Indonesia di Malaysia. Izin resmi pemerintah ternyata tidak mampu melindungi PRT migran dari praktik kekerasan.

SMO meningkatkan praktik pengiriman pekerja ilegal, pemalsuan identitas, tidak ada kontrak kerja, dan perlakuan kasar karena izin kerja bisa diurus langsung di Malaysia, tanpa melibatkan pemerintah Indonesia, sehingga tidak ada perlindungan bagi mereka.

Pemerintah Malaysia mengeluarkan kebijakan SMO sejak 1 Januari 2018, yaitu penempatan pekerja migran secara langsung tanpa melalui agensi.

Salah satu tujuannya adalah untuk meringankan majikan karena biaya perekrutan yang tinggi melalui agensi, hingga Rp70 juta. Namun kenyataannya, sistem itu merugikan para pekerja migran.

Foto rumah Mbak Jumi sebelum berangkat ke Malaysia.

Kini Mbak Jumi sudah pulang ke kampung halamannya, namun kesehatannya tak kunjung pulih. Walaupun sudah dioperasi, mentalnya belum pulih, tidak bisa diajak komunikasi, dan badannya lemah.

Selain itu, ada juga seorang pekerja yang identitasnya dipalsukan, dari 16 tahun menjadi 25 tahun di paspor. Ia bekerja di Malaysia tanpa dilengkapi kontrak kerja dan melalui jalur ilegal lalu mendaftar SMO.

Akibatnya, selama lima tahun bekerja, ia tidak pernah menerima gaji yang dijanjikan sebesar Rp1,7 juta, padahal dalam aturan, minimal gaji sekitar Rp3 juta.

Saat menuntut jalur hukum tidak bisa karena tidak memiliki dokumen dan kontrak kerja.

Mereka adalah contoh dari sekitar 2,5 juta pekerja migran Indonesia di Malaysia yang mayoritas unprosedural dan rawan mendapatkan “perlakuan kasar dan eksploitasi”.

 

Mengapa perlindungan PRT Indonesia sangat lemah di Malaysia?

Nasrikah, aktivis buruh migran PERTIMIG menyebut terdapat dua faktor yang menyebabkan lemahnya perlindungan PRT Indonesia di Malaysia.

Pertama, SMO tidak melindungi hak PRT, “akibatnya PRT tidak memiliki kontak kerja, atau jaminan hukum hak dasar PRT. Majikan memperlakukan PRT tidak manusiawi layaknya budak dan agen memperjualbelikan. Saat menuntut ke hukum, posisinya lemah karena tidak punya dokumen,” katanya.

Kedua, UU Ketenagakerjaan Malaysia tidak mengakui PRT sebagai pekerja, melainkan menyebut sebagai pembantu rumah tanga. Akibatnya, hak-hak PRT dikecualikan dari hak pekerja.

“Standar upah tidak diatur, jam kerja tidak diatur, hak libur tidak diatur, sangat merugikan PRT,” kata Nasrikah.

Wartawan Malaysia Vinothaa Selvatoray berkontribusi untuk laporan ini.